BAB VII
PENGUKURAN TEGANGAN IN‑SITU DALAM
MASSA BATUAN
7.1. PENDAHULUAN
Pengukuran tegangan (stress) in‑situ dapat mengetahui keadaan tegangan di dalam massa
batuan dan dapat menentukan antara lain parameter‑parameter penting untuk
mengetahui perilaku (behavior) massa
batuan di tempat asainya.
Pengukuran ini mencakup kepentingan di
berbagai bidang. Dalam bidang pertarnbangan, dengan diketahuinya keadaan
tegangan yang ada di dalarn massa batuan dapat ditentukan ukuran lubang bukaan
dan kestabilan di dalam tambang. klasifikasi batubara in‑situ memerlukan
diketahuinya secara tepat besar dan penyebaran tegangan di dalam massa batuan.
Bagi para geologiwan, pencarian gaya‑gaya
tektonik dan akibat‑akibat yang ditimbulkannya tidak akan lengkap tanpa, diketahuinya
penyebaran teganga di dalam struktur yang sedang,
Dalam bidang teknik sipil, penentuan
lokasi pembuatan sebuah terowongan ataupun sebuah bendungan berdasarkan pada
arah tegangan utama (principal stress) regional. Pemecahan klasik yang biasa
dilakukan untuk mengetahui keadaan tegangan di dalam massa batuan tanpa
dilakukannya pengukuran in‑situ adalah dengan menganggap bahwa tegangan
vertikal (sv) pada massa batuan yang berada pada
kedalaman tertentu adalah sama dengan berat per satuan luas dari batuan yang
berada di atasnya atau :
dengan:
h = kedalaman
= bobot isi batuan
Sedangkan tegangan horizontal (sh) adalah isotrop dan besarnya :
sh = k. sv
dengan :
v = nisbah Poisson
Untuk kedalaman (h) yang besar sekali,
maka keadaan tegangan pada umumnya menjadi hidrostatik, yaitu k = 1 dan sh = j, Tetapi semua itu hanyalah sebuah estimasi global dari
kedaan tegangan yang ada di dalam massa batuan, yang didasarkan pada hipotesa
yang sangat sederhana seperti : homogenitas, isotropi dan perilaku (behaviour) rheologi dari massa batuan.
Tegangan residual dan tektonik kemungkinan ada di dalam massa batuan dan dapat
merubah keadaan tegangan yang ada. Oleh karena itu keadaan tegangan yang
sebenarnya dapat berbeda jauh dengan keadaan tegangan yang dihitung secara
teoritis.
Teori hanya dapat memberikan perkiman
besaran intensitas dari tegangan yang ada, sedangkan hanya pengukuran tegangan
in‑situ yang dapat memberikan keterangan mengenai orientasi dan besarny‑‑
tegangan pada massa batuan di bawah tanah.
Dari berbagai literatur, terdapat,
beberapa cara untuk mengklasifikasikan metode‑metode pengukuran tegangan in‑situ.
Seperti metode pengukuran langsung (direct)
dan pengukuran tidak langsung (indirect).
Juga metode pengukuran absolut dan penglikuran relatif. Tetapi kelihatannya
yang terbaik adalah klasifikasi berdasarkan tipe dari pengukuran yang dilakukan.
Adapun klasifikasi dari berbagai metode
pengukuran tegangan in‑situ adalah sebagai berikut:
a. Metode
yang didasarkan pada pengukuran yang dilakukan di sebuah permukaan bebas di
dinding batuan. Yang dikenal antara lain adalah metode Rosette deformasi.
b. Metode yang
didasarkan pada pengukuran tekanan yang diperlukan untuk mengembalikan tegangan
yang dibebaskan : Metode flat jack.
c. Metode
yang didasarkan pada pengukuran di dalam lubang bor.
i. Metode
overcoring.
‑ sel yang mengukur tegangan,
‑ sel yang mengukur perpindahan,
‑ perpindahan radial,
‑ perpindahan radial dan longitudinal.
ii. Metode
hydraulic fracturing.
Perlu diketahui bahwa interpretasi dari
semua hasil pengukuran tegangan in-situ untuk sernua metode yang telah
disebutkan didasarkan pada hipotesa homogenitas, kontinuitas, isotropi dan
elastik linier. Di samping itu medan tegangan dianggap homogen di sekitar
tempat pengukuran dilakukan.
7.2. METODE ROSETTE DEFORMAS1
a. Prinsip
Prinsip dari rosette deformasi adalah mengukur deformasi superficial pada sebuah permukaan bebas di dinding massa batuan. Deformasi ini disebabkan oleh pembebasan
tegangan atau variasi tegangan.
b. Hipotesa
Interpretasi dari hasil pengukuran
tegangan dengan metode ini berdasarkan pada hipotesa :
1) Tegangan
bidang (plane stress), yaitu tegangan yang tegak lurus bidang pengukuran sama
dengan nol.
2) Pembebasan
tegangan adalah total (seluruhnya). Perhitungan dengan metode elemen hingga
menunjukkan bahwa diperlukan pemotongan sedalam 20 cm untuk memperoleh
pembebasan tegangan total.
3) Perilaku
(behaviour) batuan adalah elastik linier. Tegangan dihitung langsung dari
deformasi yang diukur dengan bantuan Hukum Hooke.
c. Pengukuran
Pengukuran sebanyak delapan buah dipasang
pada lingkaran yang berdiameter 20 cm (Gambar 7.1). Jarak antara titik‑titik
pengukuran tersebut diukur sampai ketelitian 1 mikron. Kemudian batuan di
sekitar lingkaran digergaji dengan menggunakan gergaji intan sedalam 20 cm,
sehingga tegangan dibebaskan total.
Titik-titik pengukuran diukur lagi dan
perpindahan yang disebabkan oleh pembebasan tegangan dihitung. Tegangan didapat dari (Bonvallet, 1976) :
dengan :
Ei = modulus deformasi untuk f = i
ui = perpindahan radial untuk f = i
r = jari-jari rosette = 10 cm
v = nisbah Poisson
Ei dan v didapat daril hasill test di
laboratorium mekanika batuan.
Metode rosette deformasi sangat menarik karena pelaksanaannya cepat, tidak
memerlukan peralatan yang canggih dan hasil yang didapat mendekati sebenarnya.
Besar tegangan utama dapat dihitung, demikian juga arahnya terhadap sumbu x dan
y dapat ditentukan.
Gambar 7.1.
Metode Rosette deformasi
7.3. METODE FLAT JACK
a. Prinsip
Motode ioni membebaskan sebagian
tegangan yang ada di dalam massa batuan dengan jalan membuat potongan pada
batuan tersebut dengan bantuan gergaji intan (Gambar 7.3). Tegangan yang
dibebaskan ini akan menyebabkan tedadinya deformasi yang dapat berupa
perpindahan dari titiktitik pengukuran yang dibuat. Kemudian ke dalam potongan
tersebut dimasukkan flat jack agar
supaya perpindahan dari titik‑fitik pengukuran menjadi not. Tekanan di dalam flat jack yang mengakibatkan perpindahan
not menggambarkan tegangan awal (initial
stress) di dalam massa batuan.
b. Hipotesa
Interpretasi dari hasil pengukuran
tegangan dengan metode flat jack berdasarkan pada hipotesa :
1) Perilaku
(behaviour) batuan adalah elastik reversible, tidak perlu linier dan batuan
homogen.
2) Tegangan
pada dinding batuan tidak dipengaruhi proses penggalian.
3) Tegangan yang
diukur tegak lurus dengan potongan vang dibuat atau tegak lurus dengan flat jack. Diharapkan bahwa arah
tegangan ini mendekati arah dari tegangan utarna.
c. Pengukuran
Titilk‑titik pengukuran yang berupa
baut besi dipasang dengan jarak 10 cm, masing‑masing L1, L2
dan L3 (Gambar 7.3). Kemudian dibuat potongan pada batuan dengan
bantuan gergaji intan yang besamya hampir sama dengan ukuran flat jack.
Kemudian titik‑titik pengukuran diukur
jaraknya. Tentu saja jaraknya akan bertambah pendek akibat adanya potongan (L1-∆L1,
L2‑∆L2, L3‑∆L3). Sesudah pengukuran
selesai, ke dalam potongan dimasukkan flat
jack yang berupa 2 lembar potongan baja yang dijadikan satu dengan mengeias
ujungnya (Gambar 7.4). Flat jack ini
dipompa dengan pompa hidraulik sampai ∆L1, ∆L2, dan ∆L3
menjadi nol, yang berarti kembali ke keadaan semula. Dalam kondisi ini tekanan
di dalam flat jack sama dengan
tegangan yang dibebaskan yang merupakan tegangan yang berada dalam massa
batuan. Kekurangan utama dari metode flat
jack adalah karena pengukuran dilakukan pada batuan yang sudah tidak solid
lagi karena pengaruh proses penggalian sehingga hasil pengukuran yang didapat tidak
representatif.
Tetapi kekurangan ini dapat diatasi
dengan melakukan pengukuran pada kedalaman tertentu artinya pada batuan yang solid.
Pengukuran dilakukan dua kali, yang pertama pada batuan yang tidak solid
kemudian dilakukan penggahan sampai kedalaman 30 cm dan pengukuran yang kedua
ditakukan (Gambar 7.4). Teknik yang digunakan tidak memungkinkan untuk
melakukan pengukuran selama penggergajian, oleh karena itu kurva D1 (kurva pembebasan
tegangan pada saat penggergajian) hanya dapat diduga seperti Gambar 7.2.
d. Pengukuran Modulus Deformasi dengan Flat Jack
Perhitungan kestabilan pekerjaan di bawah
tanah memerlukan diketahuinya karakteristik elastisitas dari batuan, terutama
modulus deformasi.
Flat jack menghasiikan tegangan yang diketahui besarnya di dalam massa
batuan atau dapat dihitung pada daerah tertentu, sehingga dengan mengukur
deformasi yang dihasilkan oleh tegangan tersebut, modulus deformasi dapat
dihitung.
Gambar di atas menunjukkan perpindahan akibat
penggergajian
L = I1 + I2 + e
dan menggambarkan regangan elastik dari
batuan demikian juga
dengan
∆e = perpindahan yang disebabkan oleh relaksasi
dari batuan pada lubang gergajian sesudah
pembebasan tegangan.
Oleh sebab itu, kemiringan dari kurva s‑e yang diukur dari titik pengukuran L
tidak menggambarkan modulus deformasi karena regangan global yang diukur,
termasuk relaksasi yang disebabkan oleh penggergajian. Sebaliknya, tangent dari
bagian linier kurva s‑e, yang diukur
dari titik pengukuran L’ adalah sama dengan modulus deformasi dengan faktor
koreksi yang tergantung dari geometri potongan gergaji.
Gambar 7.2. Kurve tegangan-regangan pada uji flat jack
Gambar 7.3. Prinsip uji flat jack
Gambar 7.4. Pemasangan
flat jack dan titik-titik pada dinding terowongan
Gambar 7.5. Metode flat jack pada kedalaman tertentu
Gambar 7.6.
Peralatan untuk melakukan pengukuran tegangan in-situ dengan metode
flat jack
Gambar 7.7. Contoh uji
flat jack di terowongan Rove (Perancis)
7.4. METODE OVERCORING
a. Prinsip
Prinsip dari metode overcoring adalah
membebaskan seluruh tegangan yang ada di massa batuan dengan cara overcoring.
Kemudian deformasi pada batuan yang disebabkan oleh dibebaskannya tegangan
tersebut diukur, dengan menggunakan sel. Dengan diketahuinya karakteristik
deformasi batuan (dari uji laboratorium) maka keadaan tegangan in‑situ di dalam
batuan dapat dihitung.
b. Hipotesa
Batuan homogen dengan perilaku elastik
reversible.
c. Pengukuran
Untuk mengetahui keadaan tegangan di
dalam massa batuan adalah dengan mengukur arah dan besarnya tiga tegangan utama
pada sebuah titik yang ditentukan.
Secara teoritis, perlu diukur paling
sedikit enam tegangan yang berbeda untuk dapat mengetahui keadaan tegangan
(Gambar 7.8).
Pengukuran tegangan dengan metode overcoring
audalah pengukuran secara tidak langsung. Tegangan akan dibebaskan dengan
pemboran overcoring yang akan memisahkan inti batuan yang telah dipasang sel
tertentu dari massa batuan (G.ambar 7.9). Perpindahan yang merupakan fungsi
dari tegangan dapat dihitung dengan rumus‑rumus yang banyak dibuat oleh para
peneliti dan tiap rumus berlaku untuk sel tertentu yang digunakan.
Dengan menggunakan teori elastisitas
linier, isotrop, maka perpindahan atau tegangan yang diukur hanya pada dinding
lubang bor, artinya p = r di mana r adalah jari‑jari lubang bor (dalam sistem
koordinat polar p, q, z).
Untuk sel dari University of Liege (Belgia)
yang dapat mengukur perpindahan radial dan longitudinal diperoleh hubungan
sederhana sebagai berikut (Gambar 7.9):
1) Perpindahan longitudinal
2) Perpindahan radial
Berdasarkan pengukuran beberapa kah dari
perpindahan radial dan longitudinal (untuk E) yang berbeda‑beda) dapat
diperoleh hubungan yang baik untuk dapat memecahkan persaman matriks :
[M] - {S} = {U}
(Hukum Hooke)
dengan:
[M] = matriks yang elemen‑elemennya hanya tergantung dari geometri
sel dan karakteristik mekanik batuan (E,v).
{S} = matriks
dari tegangan.
{U} = matriks dari perpindahandengan demikian
tegangan utama dan arahnya dapat dihitung.
Keenam tegangan yang tidak diketahui
secara teoritis hanya memerlukan enam persamaan untuk menghitungnya.
Gambar 7.8. Sistem tegangan yang ada di dalam massa
batuan
Untuk sel yang mengukur secara langsung
tegangan dengan menggunakan extensometer
gauge (misalnya sel dari Leeman) pada dinding lubang bor, didapat hubungan
antara tegangan sx, sy, sz, txy, txz dan tegangan yang diukur pada dinding
lubang bor (dalam sistem p, 0, z yang berhubungan dengan sel) sebagai berikut
(Bertrand, 1983) :
sqq = (sx + sy ) – 2 (sx - sy )cos 2q - 4 txy sin 2q
sZZ = - g (2(sx + sy ) cos 2q + 4 txy sin 2q ) + sz
sqZ = - 2 txy sin q + 2 tyz scos
Pengukuran beberapa kali tegangan normal
atau tegangan tangensial untuk berbagai arah akan menghasilkan hubungan yang
cukup untuk memecahkan sistem persamaan. Dibutuhkan paling sedikit enam
pengukuran.
a. Sel yang Mengukur
Tegangan dengan Extensometer Gauge
(1) Leeman dan Hayes pada tahun 1966
mempublikasikan prinsip pengukuran dan toori dari sol yang dilengkapi dengan
extensometer gauge yang berupa tiga rosette. Tiap rosette terdiri dari dua
gauge yang saling tegak lurus (A dan C) dan gauge yang ketiga (B) miring
terhadap dua lainnya qA = 0, qB = 45, qC = 90).
Ketiga rosettte yang diperkenalkan, oleh
Leeman merupakan harga q dari 0, π/2, dan 5π/4. Sembilan angka tegangan diukur setiap kali pengukuran.
Kesulitan penggunaan sel ini adalah cara
penempelan extensometer gauge pada
dinding lubang bor, terutama kalau ada air.
(2) Sel
CSIRO (Commonwealth Scientific & Industrial Research Organization). Sel ini
digunakan untuk lubang bor yang pendek (+ 10 m) yang dibuat dari permukaan
tanah atau dari dalam tanah (terowongan).
Sel ini terdiri dari tiga rosette
dengan sudut 1200 yang masing‑masing terdiri dari tiga gauge yang dipasang
pada sebuah tabung. Diperlukan lubang bor dengan diameter 38 mm (EX).
Overcoring dapat dilakukan dengan diameter 100 sampai 150 mm.
(3) Set dari Swedish State Power Board. Peralatan yang digunakan dapat melakukan overcoring dengan
diameter 76 mm sampai mencapai kedalaman 300 m. Ukuran set adalah D = 36 mm,
panjang 400 mm. Sel terdiri dari tiga rosette dengan sudut 1200 yang
masing‑masing terdiri dari tiga gauge yang dipasang pada selembar bahan yang
dengan sistem tertentu dapat menempel pada dinding lubang bor. Dengan set in tidak
dapat dilakukan pengukuran selama overcoilng. Oleh karena itu pengukuran hanya
dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah overcoring untuk kesembilan gauge
yang dipasang.
b. Sel yang mengukur
perpindahan
Di dalam praktek, lebih mudah menggunakan
sel yang mengukur perpindahan dinding lubang bor, terutama perpindahan radial
walaupun memberikan angka yang rendah dengan dibebaskannya tegangan.
(1) Sel yang hanya mengukur perpindahan radial, lebih dikenal dengan set
USBM (US. Bureau of Mines). Sel tersebut memerlukan lubang bor dengan diamater
38 mm dan terdiri dari tiga pengukuran diameterikal dengan sudut 1200.
Overcoring dilakukan dengan D = 150 mm dan selama overcoring dapat dilakukan
pengukuran. Kedalaman dibatasi sampai puluhan meter. Metode ini mudah dan
hasilnya cukup baik
(2) Set yang mengukur perpindahan radial dan longitudinal. Sel dari University of Liege yang dikembangkan oleh
F. Bonnechere dapat mengukur sekaligus perpindahan radial dalam delapan titik
pada empat diameter dengan sudut 450 dan perpindahan longitudinal
dalam delapan titik seperti pada Gambar 7.9.
Gambar 7.9. Penempatan dispositif pengukur perpindahan (Sel University
of Liege)
Perpindahan longitudinal
Perpindahan radial
Titik-titik pengukuran ditekan ke dinding lubang bor
(D=76 mm) dengan menggunakan dongkrak. Kontak antara titik pengukuran dengan
dinding lubang bor dapat dijaga dengan baik selama pengukuran. Overcoring dilakukan dengan D = 150 mm.
Selama overcoring dapat direkam 12
perpindahan secara kontinu.
(Model dari R. Blackwood)
Gambar 7.10. Deformasi radial dan deformasi longitudinal pada
saat overcoring
7.5. METODE HYDRAULIC FRACTURING
a. Prinsip
Metode ini dapat mengukur tegangan in‑situ
di dalam massa batuan dengan cara menguji perilaku rekahan yang sudah ada atau
rekahan yang baru dibentuk dengan injeksi air sampai tekanan yang diperlukan
untuk membuka kembali rekahan tersebut di dalam, sebuah lubang bor.
Analisa dari data yang didapat (berupa
debit air dan tekanannya) dapat menentukan besarnya tegangan normal yang ada
pada rekahan yang diuji.
Dengan melakukan pengujian pada berbagai
rekahan yang ada di dalam massa batuan maka keadaan tegangan di dalam massa
batuan dapat diketahui.
Kelemahan hydraulic fracturing adalah tidak dapat melakukan pengukuran dengan
presisi (ketelitian) yang tinggi dan tidak dapat mengukur tegangan yang kecil.
b. Peralatan yang Digunakan (Gambar 7.11)
Metode yang umum digunakan adalah double
packer di dalam lubang bor tanpa casing. yaitu mengisolir bagian dari lubang
bor yang akan diuji dengan dua buah packer.
Panjang dari bagian lubang bor yang
diisolir biasanya antara 70 cm sampai dengan 1 m, tetapi dapat juga 5 atau 10 m
(Gambar 7.12).
Diameter lubang bor agar packer dapat
dimasukkan adalah antara 60 sampai dengan 120 mm dan batuan harus mempunyai
kekuatan yang cukup.
Packer tersebut dapat bekerja sampai
tekanan 40 MPa dan dikembangkan dengan pompa tekanan tinggi (debit kecil).
Ke dalam lubang bor yang sudah diisolir
diinjeksikan fluida (pada umumnya air) dengan menggunakan pompa tekan tinggi (pompa
tripleks). Tekanan air dapat mencapai puluhan MPa. Pengendalian fracturing
adalah dengan melihat debit dan tekanan yang diberikan oleh indikator analogik atau
numerik dan pencatatan di kertas (pencatat 6 jalur).
Analisis dari hasil yang diperoleh
memerlukan keterangan dari orientasi rekahan yang sudah ada maupun rekahan yang
baru dibuat. Orientasi rekahan tersebut diketahui dengan cara mengambil gambar
dengan suatu alat (sistem Pajari) seperti pada Gambar 7.17 maupun memasukkan
kamera TV ke dalam lubang bor.
Gambar 7.11. Peralatan yang digunakan untuk uji hydraulic fracturing skala kecil
Gambar 7.12.
Sistem doyble packer untuk uji
hydraulic fracturing di dalam lubang
bor
c. Kurva Tipe Fracturing
Dari Gambar 7.13 dapat dibedakan dengan
jelas :
‑ Tekanan
fracturing(yang mempunyai hubungan dengan kuat tarik batuan),Pfr.
‑ Tekanan
pertambahan besar, Pc.
‑ Tekanan
penutupan sesudah pompa injeksi dihentkan, Pf.
Dalam hal pengujian dilakukan di tempat
yang sudah ada rekahannya, kurva memberikan puncak (peak) dari tekapan
pembukaan kembali yang kurang dari puncak tekanan fracturing, bahkan puncak
tersebut tidak ada seperti ditunjukkan oleh Gambar 7.13b.
d. Intrerpretasi dari Uji Hydraulic Fracturing
Pemboran mengakibatkan berubahnya
distribusi tegangan di sekitar lubang bor. Untuk keadaan di mana tegangan
utarna s2, s3 pada bidang yang tegak lurus pada sumbu lubang bor (dengan s2>s3), tegangan tangensial sq pada dinding lubang bor mempunyai harga minimal 3 s3 -s2.
Dengan mengambii q = 0 searah dengan s2, variasi sq pada dinding lubang bor disajikan pada Gambar 7.14 (1) dan
7.14 (2) (Wolff, et al.)
Di lain nihak, untuk q = 0 (teaanaan minimal) bertambah kecil sebagai fungsi dari s2/s3 Gambar 7.14 (3).
dengan :
sq = 2 s2 = 2 s3 untuk s2/s3 = 1
sq = 0 s2/s3 = 3
sq mempunyai harga negatif (tegangan tarikan) untuk s2/s3 > 3
Gambar 7.13. Skema dari dua tipe perilaku batuan pada
saat hydraulic fracturing
Gambar 7.14 (4) menunjukkan bahwa mulai dari jarak 2a (a = jari-jari
lubang) dari dinding lubang, sq hampir tidak berubah.
Gambar 7.14. Interpretasi dari uji hydraulic fracturing
Haimson memperkenalkan konsep tegangan efektif (effective stress) yang dinyatakan dengan tekanan fracturing :
Haimson memperkenalkan konsep tegangan efektif (effective stress) yang dinyatakan dengan tekanan fracturing :
Pfr - Pop.= (3 sh ‑ sH + RT ‑ 2 PO) K
dengan:
Pfr = tekanan
fracturing
PO = tekanan
pori air
sh = tegangan horizont& minimum = s3
sH = tegangan horizontal maximum = s2
R =
kuat tarik dalam hydraulic fracturing
K =
parameter yang menghubungkan efek dari tekanan pori air dan
compressibility.
Di dalam batuan yang permeabilitasnya
sangat kecil, K dapat dianggap 1 sehingga :
Pfr = 3 sh ‑ sH + RT‑ PO
Jika batuan tidak permeabel, PO=
0 dan
Pfr = 3 sh ‑ sH + RT
Dengan membuka lagi rekahan maka
persamaan menjadi (dengan menganggap Pr = Pf - RT)
: Pr = 3 sh ‑ sH
Dengan diketahuinya tekanan penutupan Pf
dan tekanan pembukaan P, yang ditentukan pada saat uji, maka dapat ditentukan
(paling tidak dari sudut teori) :
sh = Pf
sH =
s Pf - Pr
Gambar 7.15. Kurva hydraulic
fracturing di dalam bituminous schist
Gambar 7.16. Kurva hydraulic
fracturing, uji dilakukan pada batu pasir schisteux,
tegangan minimal 9
Mpa, pada bidang perlapisan tegangan yang
diukur adalah 20
MPa
bagus dan bermafaat tapi gambar nya buat belajar masih kurang
ReplyDelete